Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyebutkan fenomena Indonesia deflasi empat bulan beruntun pada Agustus 2024 sedikit banyak terpengaruh oleh menyusutnya jumlah masyarakat kelas menengah.
Bagaimana tidak, Badan Pusat Statistik (BPS) pun mengamini bahwa peran kelas menengah dalam menopang ekonomi sangat besar karena menjadi kelompok yang doyan belanja.
Sementara BPS menduga, deflasi beruntun ini akibat konsumsi sekunder dan tersier atau konsumsi di luar makanan, yang melandai atau terdapat indikasi masyarakat menahan belanja.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal melihat bahwa deflasi yang terjadi ini merupakan fenomena yang tidak biasa di perekonomian Indonesia.
Pada dasarnya, perlu ditelisik lebih lanjut fenomena masyarakat yang menahan belanjanya. Berbeda dengan fenomena deflasi yang terjadi selama tiga bulan beruntun pada 2020 lalu kala pandemi Covid-19 menghantam.
"Kenapa sekarang [masyarakat menahan belanja] di 2024, kenapa tidak di tahun-tahun sebelumnya? Itu perlu dicari tahu. Saya melihat deflasi yang empat bulan berturut-turut ini jelas tidak biasa kita alami setelah krisis, setelah 2020," ungkap Faisal, Selasa (3/9/2024).
Baca Juga
Faisal menuturkan, seandainya masyarakat melakukan aksi hemat alias menahan belanja untuk kebutuhan sekunder maupun tersier, seharusnya terjadi peningkatan dana pihak ketiga.
Kenyataannya, dana pihak ketiga di perbankan menunjukkan pertumbuhan yang melambat pada Mei 2024. Utamanya setelah berakhir momen Pemilu, Puasa, dan Lebaran. Pada saat yang sama, deflasi juga mulai terjadi pada Mei 2024.
Per Agustus 2024, deflasi bulanan tercatat sebesar 0,03% atau lebih rendah dari Juli 2024 yang mencapai 0,18%. Terutama terjadi pada kelompok harga bergejolak (volatile goods) yang mengalami deflasi hingga 1,24%, sementara termoderasi dengan inflasi pada kelompok inti (core inflation) sebesar 1,52% dan harga yang diatur pemerintah (administered price) sebesar 0,7%.
Faisal menegaskan pemerintah perlu mewaspadai hal tersebut karena walaupun deflasi juga dapat disebabkan oleh sisi suplai, tetapi sisi tersebut tak menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan.
"Jadi yang perlu diwaspadai justru adalah memang daya belinya menurun, terutama dari kelas menengah ke bawah," tuturnya.
Fasal menghubungkan dengan kondisi ketenagakerjaan, di mana pekerja informal per Februari 2024 mendominasi struktur ketenagakerjaan dengan porsi 59,17% dari total penduduk usia kerja yang mencapai 142,18 juta orang.
Faisal melihat dengan kondisi tersebut, diiringi dengan meningkatnya penduduk yang setengah menanggur dari 6,91% pada Februari 2023 menjadi 8,52% pada Februari 2024, akan mempengaruhi pendapatan masyarakat.
"Itu menentukan tingkat upah. Jadi tingkat upah itu memang cenderung melambat sekali peningkatannya. Upah yang sangat kecil sekali tentu saja akan mempengaruhi spending mereka. Pada akhirnya mempengaruhi tingkat inflasi, terutama yang tercerminkan dari deflasi pada volatile food," jelasnya.
Untuk itu, Faisal mendorong pemerintah untuk berhati-hati mengeluarkan kebijakan di tengah isu menurunnya kelompok menengah dan daya beli yang tertahan. Alih-alih mengembalikan daya beli, malah justru akan semakin tertekan.
Sebelumnya, Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan pengelompokan kelas menengah berasal dari besaran pengeluaran. Kelompok ini, disebut Amalia sebagai fast spender dan big spender, yakni sering belanja dan belanja dengan jumlah banyak.
"Jadi mengapa kelas menengah itu bisa menjadikan bantalan perekonomian? Karena dia adalah fast spender, big spender," ungkapnya dalam konferensi pers, Jumat (30/8/2024).
Sayangnya, jumlah kelas menengah dalam kurun waktu lima tahun terakhir justru menyusut sebanyak 9,4 juta jiwa.